Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Jasmani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Jasmani. Tampilkan semua postingan

STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) menyatakan bahwa strategi pembelajaran merujuk pada suatu proses mengatur lingkungan belajar. Setiap strategi merupakan gabungan beberapa variable. Variabel yang penting dalam strategi pembelajaran adalah metode penyampaian bahan ajar, pola organisasi yang digunakan guru untuk menyampaikan materi, dan bentuk komunikasi yang dipergunakan. Secara rinci strategi pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas dapat diuraikan satu-persatu sebagai berikut.

1. Metode Pembelajaran (Teaching Method)
Menurut Griffin, Mitcheil, dan Oslin (1997); Joyce, Well dan Showers (1992); Magill (1993); Mosston dan Ashworth (1994); Singer dan Dick (1980); metode pembelajaran yang sering digunakan dalam pengajaran aktivitas jasmani sebanyak tujuh katagori. Ketujuh kategori metode tersebut dirinci sebagai berikut.
  • Pendekatan pengetahuan-keterampilan (knowledge-skill approach) yang memiliki dua metode, yaitu metode ceramah (lecture) dan latihan (drill).
  • Pendekatan sosialisasi (socialization approach) yang berdasarkan pandangan bahwa proses pendidikan harus diarahkan untuk selain meningkatkan keterampilan pribadi dan berkarya, juga keterampilan berinteraksi sosial dan hubungan manusiawi. Pendekatan ini memiliki kelompok metode the social family, the information processing family, the personal family, the havioral system family, dan the professional skills.
  • Pendekatan personalisasi yang berlandaskan atas pemikiran bahwa aktivitas jasmani dapat dipergunakan sebagai media untuk mengembangkan kualitas pribadi, metodenya adalah movement education (problem solving techniques).
  • Pendekatan belajar (learning approach) yang berupaya untuk mempengaruhi kompetensi dan proses belajar anak dengan metode terprogram (programmed instruction), computer assisted instruction (CAI), dan metode kreativitas dan pemecahan masalah (creativity and problem solving).
  • Pendekatan motor learning yang mengajarkan aktivitas jasmani berdasarkan klasifikasi keterampilan dan teori proses informasi yang diterima. Metode yang dikembangkan berdasarkan pendekatan ini adalah part-whole methods, dan modelling (demonstration).
  • Spektrum gaya mengajar yang dikembangkan oleh Muska Mosston. Spektrum dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara guru-siswa dan pelaksanaan pembagian tanggungjawab. Metode yang ada dalam spectrum berjumlah sebelas, yaitu: (1) komando/command, (2) latihan/practice, (3) resiprokal/reciprocal, (4) uji mandiri/self check, (5) inklusi/inclusion, (6) penemuan terbimbing/guded discovery, (7) penemuan tunggal/convergen discovery, (8) penemuan beragam/divergent production, (9) program individu/individual program, (10) inisiasi siswa/learner initiated, dan (11) pengajaran mandiri/self teaching.
  • Pendekatan taktis permainan (tactical games approaches). Pendekatan yang dikembangkan oleh Universitas Lougborough untuk mengajarkan permainan agar anak memahami manfaat teknik permainan tertentu dengan cara mengenal situasi permainan tertentu terlebih dahulu kepada anak.

2. Pola Organisasi (Organizational Pattern)
Menurut Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) pola organisasi digunakan untuk mengelompokkan siswa aktivitas jasmani agar metode yang diinginkan dapat dipergunakan. Pola dasar organisasi adalah kelas (classical), kelompok (group) dua atau lebih, dan individu (individual).
Pengajaran kelas menempatkan siswa dalam kelompok besar dan mereka mendapatkan informasi secara klasikal. Guru menyampaikan materi kepada seluruh peserta pada suatu waktu tertentu. Siswa bekerja sebagai satu kesatuan, biasanya dalam bentuk kelompok, untuk menanggapi materi yang disampaikan.

Pengajaran kelompok atau perorangan membagi kelas menjadi beberapa unit (kelompok atau individu) sehingga beberapa kegiatan dapat dikerjakan pada satu satuan waktu tertentu. Penggunaan stasion atau pusat-pusat belajar (learning centers) merupakan bentuk yang populer dan bermanfaat untuk mengakomodasi pola ini. Selain itu, ada beberapa bentuk formasi yang dapat digunakan, yaitu: berjajar, melingkar, setengah lingkaran, dan bergerombol.


3. Bentuk Komunikasi (Communication Mede)
Menurut Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) bentuk komunikasi adalah bentuk interaksi yang dipilih guru untuk menyampaikan pesan. Pada umumnya, bentuk komunikasi adalah verbal, written, visual, auditory, dan gabungannya. Komunikasi verbal adalah komunikasi lisan melalui kontak pribadi, biasanya antara guru dan siswa dan bentuk ini sering dipergunakan. Komunikasi auditori dipresentasikan dengan menggunakan hasil rekaman atau pita kaset yang menyampaikan gaya presentasi yang dipilih.

Bentuk komunikasi tertulis (written) dan visual merupakan jenis komunikasi yang efektif dan memberikan motivasi yang tinggi dalam proses pembelajaran. Kertas tugas, kartu tugas, poster dapat digunakan secara efektif dalam organisasi kelompok atau individu

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

Guru perlu membedakan antara kegiatan pengajaran dan manajemen kelas. Kegiatan pengajaran meliputi: (1) mendiagnosa kebutuhan kelas, (2) merencanakan dan mempresentasikan informasi, (3) membuat pertanyaan, (4) mengevaluasi kemajuan. Kegiatan manajemen kelas terdiri dari (1) menciptakan dan memelihara kondisi kelas, (2) memberi pujian terhadap perilaku yang baik, dan (3) mengembangkan hubungan guru dengan siswa.
Keterampilan manajemen kelas merupakan hal yang penting dalam pengajaran yang baik. Praktik menajemen kelas yang baik yang dilaksanakan oleh guru akan menghasilkan perkembangan keterampilan-keterampilan manajemen diri siswa yang baik pula. Ketika siswa telaha belajar untuk mengatur diri lebih baik, guru akan lebih mudah berkonsentrasi untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran.

Teknik manajemen kelas harus diupayakan agar tidak mengganggu aspek pembelajaran dalam pelajaran. Bila direncanakan dengan baik, pembelajaran akan bergerak dengan cepat dan lancer dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Manajemen kelas yang efektif akan dapat terwujud dengan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menetapkan aturan kelas
Salah satu bagian penting dalam manajemen kelas adalah penetapan aturan kelas. Siswa adalah insane yang memiliki kebiasaan. Aturan kelas mencakup bagaimana pelajaran dimulai, apa tanda yang dipakai untuk mengumpulkan perhatian siswa, apa yang diharapkan saat siswa mendengarkan dan mengikuti perintah, bekerjasama, saat menggunakan ruangan untuk kegiatan tertentu, dan penggunaan yang lainnya. Aturan perilaku tetap ini harus diketahui oleh siswa pada awal pertemuan.

2. Memulai kegiatan tepat waktu
Pemberian suatu tanda mulai segera dilakukan bila kegiatan sudah siap untuk dilaksanakan. Banyak waktu akan terbuang bila aturan ini tidak ditetapkan. Aba-aba untuk melaksanakan kegiatan jangan sampai membingungkan siswa. Contohnya, jan gan memberikan perintah dengan tanda-tanda yang mirip untuk dua kegiatan yang berbeda.

3. Mengatur pelajaran
Guru harus tetap menjaga kegiatan tetap berlangsung dan tidak terganggu oleh kegiatan yang tak terduga. Pergantian antartopik harus dilakukan oleh guru secara cermat dan penuh kesadaran. Guru perlu memaksimalkan kesempatan keikutsertaan setiap siswa dalam proses pembelajaran. Guru perlu memaksimalkan penggunaan peralatan dan mengorganisasikan kelompok agar siswa sebanyak mungkin bergerak aktif sepanjang pelajaran. Bila peralatan yang ada terbatas jumlahnya, gunakan pendekatan stasion/learning centers, dan modifikasi aktivitas.

4. Mengelompokkan siswa
Guru perlu mengelompokkan siswa agar pembelajaran berlangsung secara efektif. Dengan pengelompokkan yang tepat siswa memiliki peluang melakukan aktivitas lebih banyak, bermain dengan jenjang kemampuan dan keterampilan yang seimbang.

5. Memanfaatkan ruang dan peralatan
Guru perlu merencanakan penjagaan dan pemanfaatan peralatan dan ruang secara efisien. Peralatan yang akan digunakan dalam pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik. Selain hal di atas, siswa perlu dibiasakan untuk ikut bertanggungjawab terhadap peralatan yang dipergunakan dalam pembelajaran.

6. Mengakhiri pelajaran
Setiap pertemuan pelajaran di dalam maupun di luar kelas harus diakhiri tepat waktunya dan diupayakan memberikan kesan mendalam bagi siswa. Dengan kesan yang baik, setiap episode pelajaran akan menjadi lebih bermanfaat dan bermankna. Dengan demikian, siswa akan selalu mengingat kegiatan yang dilakukan, dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan.


TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENDIDIKAN JASMANI

Tujuan Pendidikan Jasmani
Mata pelajaran Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
  1. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
  2. Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik.
  3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
  4. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
  5. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
  6. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
  7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.

Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di SMA/MA
Ruang lingkup mata pelajaran Pendiidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
  1. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya.
  2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya.
  3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya.
  4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya.
  5. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya.
  6. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.
  7. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI

Peningkatan keterampilan gerak, kesegaran jasmani, pengetahuan, dan sikap positif terhadap Pendidikan Jasmani sangat ditentukan oleh sebuah kurikulum yang baik. Kurikulum itu sendiri nampaknya terlalu abstraks untuk didefinisikan secara tegas dan jelas sebab di dalam kurikulum tersebut termasuk segala sesuatu yang direncanakan dan diterapkan oleh para guru, baik secara implisit maupun eksplisit. Namun secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan perencanaan dan program jangka panjang tentang berbagai pengalaman belajar, model, tujuan, materi, metode, sumber, dan evaluasi termasuk pula ‘apa’ dan ‘mengapa’ diajarkan.
Seperti halnya sistem tubuh manusia, semua bagian dari kurikulum harus terpadu dan bekerja terarah untuk membantu mengembangkan anak didiknya yang sedang belajar. Pembuat kurikulum sudah selayaknya bertanya, apakah program yang ada dalam kurikulum itu sudah valid? Apakah kurikulum tersebut sudah dapat meraih tujuan yang akan dicapainya? Contoh pertanyaan yang lebih spesifik: apakah dengan kurikulum itu siswa lulusannya sudah mempunyai berbagai keterampilan gerak dasar dan siap untuk belajar keterampilan yang lebih bersifat spesifik dan kompleks pada jenjang berikutnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah barang tentu sangat untuk sulit dijawab dengan tegas, namun demikian pertanyaan tersebut paling tidak akan membantu para guru dalam menentukan arah program yang dibuatnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat gambaran arah program Pendidikan Jasmani pada jenjang pendidikan SD/MI dikaitkan dengan beberapa karakteristik yang melandasinya, yang antara lain meliputi: asumsi dasar, pelaksanaan, dan keberhasilannya sehingga dengan demikian diharapkan kita dapat melihat berbagai isu dan alternatif pemecahannya.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengemukakan yang dimaksud dengan Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif setiap siswa.
Asumsi Dasar Program Pendidikan Jasmani
Asumsi dasar pada dasarnya adalah pijakan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menyelenggarakan sesuatu. Asumsi dasar program Penddikan Jasmani merupakan pijakan yang kokoh yang dapat dipertanggungjawabkan dalam membuat dan menyelenggarakan program penjas. Tiga asumsi dasar program Penddikan Jasmani meliputi:
a. Program Penddikan Jasmani dan program olahraga mempunyai tujuan yang berbeda
Pembuatan program olahraga terutama ditujukan untuk mereka yang betul-betul mempunyai keinginan atau tertarik untuk mengkhususkan diri pada salah satu atau beberapa cabang olahraga dan berkeinginan untuk memperbaiki kemampuannya agar dapat berkompetisi dengan orang yang lain yang mempunyai keinginan dan minat yang sama pula.
Sebaliknya, pembuatan program Penddikan Jasmani ditujukan untuk setiap anak didik (dari mulai anak yang berbakat sampai anak yang yang sangat kurang keterampilannya; dari mulai anak yang tertarik dan tidak tertarik sama sekali). Tujuan utama pembuatan program tersebut adalah menyediakan dan memberikan berbagai pengalaman gerak untuk membentuk fondasi gerak yang kokoh yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi gaya hidupnya yang aktif dan sehat (active life style). Olahraga mungkin akan merupakan salah satu bagian dari program Penddikan Jasmani, akan tetapi bukan satu-satunya pilihan.
b. Anak-anak bukanlah ‘miniature’ orang dewasa
Kemampuan, kebutuhan, perhatian, dan minat anak-anak berbeda dari kemampuan, kebutuhan, minat, dan perhatian orang dewasa. Oleh karena itu, sudah barang tentu kurang cocok apabila pembelajaran dikonotasikan seperti menuangkan air dari gelas yang satu ke gelas yang lainnya. Para guru tidak cukup dengan memberikan program aktivitas jasmani atau olahraga untuk orang dewasa kepada anak-anak.
Demikian juga pengalaman latihan yang diperoleh para guru sewaktu kuliah belum tentu cocok diberikan kepada anak didiknya. Anak-anak membutuhkan program yang secara khusus dibuat sesuai dengan minat, kemampuan, dan kebutuhannya (Developmentally Appropriate Practice/DAP).
c. Anak-anak yang kita ajar sekarang tidak untuk dewasa sekarang
Para pendidik mempunyai tantangan yang cukup besar dalam mempersiapkan anak didik di masa yang akan datang, yang belum bisa didefinisikan dan dimengerti secara jelas. Atau paling tidak, dalam berbagai aspek, dunia nanti mungkin akan sangat berbeda dengan dunia yang ada sekarang. Program Penddikan Jasmani yang ada sekarang berusaha memperkenalkan anak didik pada dunia yang ada sekarang dan juga sekaligus mempersiapkan anak didik untuk hidup dalam dunia yang belum pasti di masa yang akan datang. Dengan kata lain program tersebut berusaha membantu siswa belajar bagaimana belajar (learning how to learn) dan membantu siswa menyenangi proses discovery dan eksplorasi tantangan-tantangan baru dan berbeda dalam domain fisik.
Aktivitas fisik dan olahraga di masa yang akan datang mungkin sangat berbeda dengan aktivitas fisik dan olahraga yang ada dan popular pada masa sekarang. Oleh karena itu program yang ada sekarang selayaknya mempersiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan gerak dasar yang sangat diperlukan untuk setiap aktivitas fisik, baik yang sedang popular pada masa sekarang maupun aktivitas fisik yang mungkin akan ditemukan di masa yang akan datang.
Penguasaan berbagai keterampilan gerak dasar oleh para siswa akan mendorong perkembangan dan perbaikan berbagai keterampilan fisik yang lebih kompeks, yang pada akhirnya akan membantu siswa memperoleh kepuasan dan kesenangan dalam melakukan aktivitas fisiknya.
Karakteristik Program Pendidikan Jasmani
Sehubungan dengan anggapan dasar tersebut di atas, maka program dan penyelenggaraan program Pendidikan Jasmani hendaknya mencerminkan anggapan dasar tersebut di atas. Dua pedoman yang seing digunakan untuk dapat mencerminkan anggapan dasar tersebut antara lain adalah “Developmentally Appropriate Practices” (DAP) dan “Instructionally Appropriate Practices” (IAP).
a. Developmentally Appropriate Practices (DAP)
Maksudnya adalah tugas ajar yang memperhatikan perubahan kemampuan anak dan tugas ajar yang dapat membantu mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik yang sedang belajar. Tugas ajar yang sesuai ini harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik setiap individu serta mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik.
b. Instructionally appropriate practices (IAP)
Maksudnya adalah tugas ajar yang diberikan diketahui merupakan cara-cara pembelajaran yang paling baik. Cara pembelajaran tersebut merupakan hasil penelitian atau pengalaman yang memadai yang memungkinkan semua anak didik memperoleh kesempatan dan keberhasilan belajar secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang karakteristik pembelajaran penjas tersebut, berikut ini dipaparkan komponen-komponen kurikulum yang harus dilihat kesesuaiannya.
Keberhasilan Program Pendidikan Jasmani
Untuk mengetahui apakah program pendekatan Pendidikan Jasmani yang kita gunakan tersebut cukup berhasil atau masih perlu disempurnakan, maka diperlukan suatu evaluasi. Untuk keperluan itu banyak kriteria yang dapat digunakan. Untuk itu, khususnya di Amerika, NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) telah menentukan “Physically Educated Person” sebagai salah satu kriterianya. Kriteria ini menjabarkan keberhasilan program Pendidikan Jasmani ke dalam 20 karakteristik yang diklasifikasikan ke dalam lima katagori dan merupakan penjabaran dari pencapaian tujuan jangka pendek (short term) dan jangka panjang (long term) dari program Pendidikan Jasmani di sekolah-sekolah. Untuk lebih jelasnya karakteristik seseorang yang terdidik jasmaninya tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik antara lain:
(1) Bergerak dengan menggunakan konsep-konsep kesadaran tubuh, kesadaran ruang, usaha, dan hubungannya.
(2) Menunjukkan kemampuan dalam aneka ragam keterampilan manipulatif, lokomotor, dan non lokomotor.
(3) Menunjukkan kemampuan mengkombinasikan keterampilan manipulatif, locomotor dan non-locomotor baik yang dilakukan secara perorangan maupun dengan orang lain.
(4) Menunjukkan kemampuan pada aneka ragam bentuk aktivitas jasmani.
(5) Menunjukkan penguasaanpada beberapa bentuk aktivitas jasmani.
(6) Memiliki kemampuan tentang bagaimana caranya mempelajari keterampilan baru.
b. Bugar secara fisik
(1) Menilai, meningkatkan, dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.
(2) Merancang program kesegaran jasmani sesuai dengan prinsip latihan tetapi tidak membahayakan.
c. Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani
(1) Berpartisipasi dalam program pembinaan kesehatan melalui aktivitas jasmani minimal 3 x per minggu.
(2) Memilih dan secara teratur berpatisipasi dalam aktivitas jasmani pada kehidupan sehari-hariya.
d. Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatan dalam aktivitas jasmani
(1) Mengidentifikasi manfaat, pengorbanan, dan kewajiban yang berkaitan dengan teraturnya partisipasi dalam aktivitas jasmani.
(2) Menyadari akan faktor resiko dan keselamatan yang berkaitan dengan teraturnya partispasi dalam aktivitas jasmnai.
(3) Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip pengembangan keterampilan gerak.
(4) Memahami bahwa hakekat sehat tidak sekedar fisik yang bugar.
(5) Mengetahui aturan, strategi, dan perilaku yang harus dipenuhi pada aktivitas jasmani yang dipilih.
(6) Mengetahui bahwa partisipasi dalam aktivitas jasmani dapat memperoleh dan meningkatkan pemahaman terhadap budaya majemuk dan budaya internasional.
(7) Memahami bahwa aktivitas jasmani memberi peluang untuk mendapatkan kesenangan, menyatakan diri pribadi, dan berkomunikasi.
e. Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat
(1) Menghargai hubungan dengan orang lain yang diperoleh dari partisipasi dalam aktivitas jasmani.
(2) Hormat terhadap peraturan yang terdapat dalam aktivitas jasmani sebagai cara untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang hayat.
(3) Menikmati perasaan bahagia yang diperoleh dari partisipasi teratur dalam aktivitas jasmani.

ISU KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI

Isu Program
Isu program kurikulum SMA/MA dapat kita amati antara lain dari dua sisi, yaitu materi kurikulum dan distribusi alokasi waktunya. Walaupun tujuan Pendidikan Jasmani di SMA/MA sangat sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya, namun seringkali para guru terlena oleh materi kurikulumnya. Materi kurikulum SMA/MA pada dasarnya merupakan berbagai gerak dasar, yang antara lain dapat diklasifikasikan ke dalam cabang olahraga atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga tradisional. Kenyataan ini sering menggiring para guru:
  1. Memaksakan diri mengajar olahraga yang untuk beberapa siswa mungkin belum saatnya karena persyaratan fisik dan koordinasinya belum memadai sehingga PBM kurang DAP.
  2. Berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari Pendidikan Jasmani di SMA/MA.
  3. Kurang memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi seperti kesenangan dan keceriaan.
  4. Kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. 
  5. Kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di sekolah maupun di masyarakat dan pembentukan gaya hidup yang sehat.
Apabila dilihat dari distribusi alokasi waktunya yang hanya satu kali dalam satu minggu dengan lama 2 x 45 menit, kemungkinan besar tujuan yang berhubungan dengan pengembangan kesegaran jasmani tidak bisa tercapai. Program aktivitas untuk pengembangan kebugaran jasmani menuntut frekuensi 3 x dalam seminggu. Sementara itu perkembangan kesegaran jasmani siswa seringkali merupakan tujuan yang paling diharapkan tercapai dalam pendidikan jasmani. Untuk itu program kesegaran jasmani yang realistik untuk situasi seperti ini perlu dipertimbangkan.
Isu Proses Pembelajaran
Beberapa isu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dan perlu mendapat perhatian para pelaksana di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Pengembangan dan variasi aktivitas belajar yang diberikan cenderung miskin dalam hal pengembangan tujuan secara holistic dan cenderung didasarkan terutama pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang gurunya. Dengan kata lain, aktivitas belajar cenderung kurang didasarkan pada karakteristik anak didiknya, misal, terdiri dari sejumlah permainan olahraga untuk orang dewasa.
  2. Aktivitas Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa cenderung terbatas. Siswa berpartisipasi pada permainan dan aktivitas yang jumlahnya relatif terbatas. Demikian juga kesempatan dan waktu aktif belajar untuk mengembangkan konsep dasar dan keterampilan gerakpun terbatas. Hasil penelitian Lutan dkk. (1992) mengungkapkan bahwa aktif belajar siswa SMA berkisar 1/3 dari seluruh alokasi Penjas.
  3. Siswa diharuskan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas penjas, namun aktivitas tersebut kurang membantu siswa memahami dampaknya bagi peningkatan kebugaran jasmani dan gaya hidup sehatnya di masa yang akan datang.
  4. Peranan unik dari Pendidikan Jasmani, yaitu belajar gerak dan belajar sambil bergerak, cenderung kurang dipahami oleh para pengajar dan kurang tercermin dalam pembelajaran.
  5. Siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan aktivitas Pendidikan Jasmani dengan pengalaman-pengalaman pendidikan pada bidang bidang lainnya.
  6. Guru kurang mengembangkan aspek afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap Pendidikan Jasmani.
  7. Guru cenderung masih kurang memperhatikan kesempatan pemberian bantuan kepada siswa agar mengerti emosi-emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas Pendidikan Jasmani.
  8. Siswa disuruh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu mudah atau terlalu sukar yang dapat menyebabkan mereka bosan, frustrasi, atau melakukannya dengan salah.
  9. Jumlah siswa dalam pelajaran penjas lebih dari jumlah siswa dalam kelas yang sebenarnya, misal, mengajar empat kelas sekaligus.
  10. Siswa disuruh mengikuti pelajaran lain karena alasan-alasan lain atau sebagai hukuman atas perbuatannya dalam pelajaran Pendidikan Jasmani.
  11. Proporsi jumlah waktu aktif belajar sangat terbatas sebab siswa harus menunggu giliran, memilih team, terbatasnya peralatan, atau karena permainan gugur yang pada umumnya siswa yang lamban yang gugur.
Isu Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral) dari suatu proses belajar mengajar. Evaluasi berfungsi sebagai salah satu cara untuk memantau perkembangan belajar dan mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. Beberapa isu yang seringkali muncul daam pelaksanaan evaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Pelaksanaan penilaian belum begitu nampak terintegrasi dalam sebuah proses belajar mengajar. Pengecekan terhadap pemahaman siswa dan pemberian umpan balik yang memadai dalam rangka meningkatkan penguasaan materi oleh siswa sebagai salah satu bentuk evaluasi, nampaknya belum merupakan bagian yang menyatu dalam sebuah proses belajar mengajar. Guru merasa dikejar-kejar oleh bahan yang harus tuntas pada pertemuan itu tanpa memperhatikan apakah siswa sudah saatnya menerima materi berikutnya atau belum. Untuk itu seringkali guru memberikan evaluasi harian yang sifatnya formalitas saja, asal menyampaikan tanpa dijadikan umpan balik untuk perbaikan proses berikutnya.
  2. Materi evaluasi terkadang kurang kurang relevan dengan materi yang diberikan pada proses belajar mengajar. Kecenderungan untuk mengambil materi evaluasi dari bang-bang soal dari luar sekolah atau dari soal sebelumnnya tanpa terlebih dahulu direvisi atau disesuaikan dengan materi belajar yang sudah diberikan, memang merupakan cara yang cepat. Namun apabila hal itu tidak dilakukan dengan teliti, bisa jadi akan melemahkan validitas dan reliabilitas soalnya. Suatu soal yang valid pada kelompok siswa sekolah tertentu belum tentu valid untuk sekolah tempat kita mengajar. Tingkat keterampilan siswa, fokus pembelajaran, dan relevansi materi evaluasi seringkali merupakan aspek pokok validitas instrumen.
  3. Situasi pelaksanaan evaluasi. Dalam situasi ujian tes tulis di kelas, hasil tes mungkin hanya diketahui oleh yang dites dan gurunya. Sementara itu, dalam tes penampilan di lapangan, hasil tes diketahui oleh semua orang. Semua siswa tahu siapa yang larinya paling lambat, siapa yang skor shootingnya paling rendah, dsb. Keadaan ini sedapat mungkin dihindari oleh para guru Penjas sehingga dapat memelihara kondisi perasaan siswa agar tetap positif.
  4. Alokasi waktu pelajaran Penjas di sekolah amat terbatas untuk mengadakan pengetesan. Alokasi waktu pelajaran Penjas rata-rata satu kali perminggu, selama 2 x 45 menit dalam setiap semester (kurang lebih enam bulan) dengan pertemuan sebanyak 12 kali. Pengetesan sering menggunakan waktu yang cukup lama. Untuk melakukan satu butir tes kesegaran jasmani saja, missal tes lari 2,4 km (tes aerobik) diperlukan satu pertemuan bahkan kadang lebih.
  5. Masalah lain adalah evaluasi seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh ahli statistik, sebab statistik diperlukan untuk pengolahan data. Bila demikian guru harus bekerja ekstra keras, menyisihkan waktu dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak, dan konsentrasi penuh pada evaluasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengurangi masalah tersebut di atas?
Isu Jumlah dan Karakteristik Siswa
Guru penjas di SMA/MA sering dihadapkan dengan masalah jumlah siswa yang cukup banyak mulai dari Kelas X sampai Kelas XII, bahkan ditambah dengan siswa dari kelas paralel. Lebih rumit lagi karena yang dipelajari adalah sesuai dengan kemampuan fisik dan perkembangan mental yang berbeda-beda. Guru Penjasorkes harus menangani siswa sebanyak 400 sampai 500 perminggunya.
Isu Sarana dan Prasarana Pembelajaran Penjas
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran penjas merupakan salah satu isu yang cukup merata dan sangat terasa oleh para pelaksana penjas di lapangan. Pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia pada setiap jenjang pendidikannya selalu dihadapkan dengan permasalahan kekurangan sarana dan prasarana ini. Tidak sedikit sekolah di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan tidak memiliki tempat atau lahan untuk melakukan aktivitas jasmani, khususnya yang berkaitan dengan olahraga misalnya lapangan. Walaupun ada, jumlahnya tidak proporsional dengan jumlah siswa, seringkali ditambah dengan kualitasnya yang kurang memenuhi tuntutan pembelajaran.
Sarana dan prasarana ini meliputi alat-alat, ruangan, dan lahan untuk melakukan berbagai aktivitas Pendidikan Jasmani, termasuk olahraga. Idealnya sarana dan prasarana ini harus lengkap, tidak hanya yang bersifat standar dengan kualitas yang standar pula, tetapi juga meliputi sarana dan prasarana yang sifatnya modifikasi dari berbagai ukuran dan berat ringannya. Modifikasi ini sangat penting untuk melayani berbagai kebutuhan tingkat perkembangan belajar anak didik di sekolah bersangkutan yang terkadang sangat beragam karakteristik kemampuannya.
Isu Keberhasilan Kurikulum Penjas
Keberhasilan kurikulum Pendidikan Jasmani pada setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih dirasakan samar. Ukuran yang digunakan oleh setiap orang dalam menafsirkan keberhasilan program masih bersifat samara dan cenderung bersifat lokal belum menyeluruh sebagaimana tercantum dalam tujuannya. Namun demikian salah satu indikator yang mungkin dapat kita telusuri adalah karakteristik para lulusannya.
Untuk itu kita dapat bercermin pada karakteristik lulusan Pendidikan Jasmani yang dijadikan patokan di beberapa negara maju, misalnya seperti yang dikemukakan oleh NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) yang intinya adalah sebagai berikut:
  1. Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik.
  2. Bugar secara fisik.
  3. Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani.
  4. Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatandalam aktivitas jasmani.
  5. Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat.

PENDIDIKAN JASMANI DAN PEDAGOGIG OLAHRAGA

Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam  pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandang sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu keolahragaan.Di berbagai negara di seluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga terkait dengan sejarah, yang mencerminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradigma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari semua Subdisiplin ilmu ke‑olahraggaan (misalnya, sport medicine, sport psychology), namun ada elemen sejarah yang amat khusus yang mengaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dari sejarah olahraga (sport history).
Elemen‑elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi olahraga, secara umum ditekankan pada:
  • semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar sekolah;
  • dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;
  • kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;
  • perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;
  • perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan pendidikan jasmani dan olahraga;
  • Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;
  • sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;
  • metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah terlupakan;
  • bentuk‑bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain‑lain.
Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai “induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradigma interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai “pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport, medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan hasil The Second Asia‑Pacific Congress of Sport and Physical, Education University President).
Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoretis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut; dan (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer dan drill di beberapa negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.
Lingkup kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di luar sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak‑anak tetapi juga kepada semua lapisan khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau lainnya yang berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau psikososial. Dalam konteks keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972) menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga dan teori pelatihan yaitu pedagogi olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan (training theory) untuk menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada didaktik dan metodik.
Pedagogi olahraga di FPOK Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung misalnya, memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan pedagogi Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986; 1994) yang menyatakan bahwa “perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis.” Karena itu, perspektif sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.
Memang kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan pedagogi olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke‑olahragaan, yang sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis (Andrieu, 1990; Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda (Kramer & Lommen, 1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears & Swanson, 1988), dijumpai keragaman aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di negara ini, seperti di negara lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian akademik tidak berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini karena di Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara‑negara Eropa lainnya, konsep “physical education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya, ketimbang pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988; dalam Naul, 1994).
Di Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah “embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan. Lebih dari dua dasawarsa, setelah mengenal struktur dasar ilmu keolahragaan dalam International Workshop on Sport Science, 1975 di Bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari Sekolah Tinggi Olahraga se‑Indonesia dengan nara sumber ahli‑ahli Jerman Barat (Prof. H. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen, dan Bodo Schmidt), Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema‑tema diskusi olahraga kompetitif’. di sekitar feri‑feri ilmu kepelatihan dari sport medicine.
Melalui pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan tentang sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses percepatan konversi IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya tentang konsep ilmu keolahragaan yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional itulah yang kemudian melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi pada kesehatan olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka pada tahun 1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.
Sejak tahun 1980‑an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional, terutama di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan “sport pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar kerja (sekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.
Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradigma interdisiplin‑intergratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan internasional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari Jerman, tatkala latar belakang filsafat/hermentik dari “teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960‑an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).
Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun 1960‑an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga buah fikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth‑Jarkowsky (Austria‑Hungaria), sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulisan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok fikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan “body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.
Sejarah pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan yang ‑ berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah Perancis, Denmark, Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880‑an. Seperti juga pernah kita kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya, sistem pendidikan jasmaninya, dan metode pengajarannya memperoleh pengakuan internasional di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 ialah:
  • Guthsrnuths (I 7 93) dart Jerman yang berpengaruh di Denmark, Inggris, Swedia, Nederland, Belgia, Italia dan negara lainnya;
  • Pestalozzi (1807) di Swedia, melalui Spies kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan jasmani di sekolah‑sekolah Jerman, dan Amoros dan Clias berpengaruh terhadap latihan fisik guru‑guru dan militer pria di Perancis dan Inggris;
  • Per Henrik Ling dan puteranya Hjalmar, bersama dengan para penerusnya Royal Central Institute of Gymnastic di Stockholm, mempengaruhi semua sistem nasional pendidikan jasmani di seluruh Eropa dan Amerika Utara dalam periode yang berbeda‑beda, yang bermula pada abad ke‑19.
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920‑an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga yang dikenal di tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka mendorong terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara‑negara Eropa. Di Perancis, metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan Herbert, dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan dalam senam, dan di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria “Gaulhofer dan Streicher” (1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark dan Swedia. Tulisan dan hasil kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di Jerman, Belanda, Inggris, dan negara Eropa lainnya pada tahun 1920‑an dan 1930‑an (Grossing. 1991; Kramer membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).
Pada masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa. Namun sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status akademik pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.
Pada tahun 1960‑an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di Timur, semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran jasmani sebagai tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar berfungsi dengan baik, sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat, Crum, 1994). Aspek performa menjadi bagian yang lebih penting karena berbagai alasan. Pada tahun 1970‑an, kebijakan pendidikan jasmani banyak diperbaharui oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara negara Eropa.
Tahun 1970‑an merupakan puncak perkembangan pendidikanl jasmani dengan peningkatan yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di samping pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi diperkenalkan dari diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.
Namun sejak tahun 1980‑an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat global karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu sendiri. Krisis pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres dunia di Berlin tahun 1999 1 terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu negara seperti di AS, Australia, Inggris dan Jerman, namun menjadi persoalan akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam Naul, 1994). Bahkan dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok diungkapkan yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai implementasi dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani, seperti dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak perubahan yang dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai “gong” dari konferensi bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan mutu pendidikan.
Rangkaian pembahasan tentang pemberdayaan pendidikan jasmani ini berlanjut dalam kongres internasional ke‑46 ICHPERSD (International Council on Health, Physical Education, Recreation, Sport ‑.md Dance) di Istambul (2006) yang menghasilkan pemikiran tentang visi dan misi baru pendidikan iasmani, termasuk komponen‑komponen pendidikan jasmani yang dipandang bermutu

FUNGSI PENDIDIKAN JASMANI

Pendidikan jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan, dan pembentukan watak. Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional

Aspek Organik
  • Menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan untuk pengembangan keterampilan.
  • Meningkatkan kekuatan otot, yaitu jumlah tenaga maksimum yang dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot.
  • Meningkatkan daya tahan otot, yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk menekan kerja dalam waktu yang lama.
  • Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, kapasitas individu untuk melakukan aktivitas yang berat secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama.
  • Meningkatkan fleksibilitas, yaitu: rentang gerak dalam persendian yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.
Aspek Neuromuskuler
  • Meningkatkan keharmonisan antara fungsi saraf dan otot.
  • Mengembangkan gerak dasar lokomotor, seperti: berjalan, berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong, menderap/mencongklang, berguling, menarik.
  • Mengembangkan gerak dasar non-lokomotor, seperti: mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung, membongkok.
  • Mengembangkan gerak dasar manipulatif, seperti: memukul, menendang, menangkap, menghentikan, melempar, mengubah arah, memantulkan, menggulirkan, memvoli.
  • Mengembangkan komponen fisik, seperti: kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, keseimbangan, ketepatan, power.
  • Mengembangkan kemampuan kinestetik seperti: rasa gerak, irama, waktu reaksi dan koordinasi.
  • Mengembangkan potensi diri melalui aktivitas jasmani dan olahraga, seperti: sepakbola, softball, bolavoli, bolabasket, bolatangan, baseball, atletik, tennis, tennis meja, beladiri dan lain sebagainya.
  • Mengembangkan aktivitas jasmani di alam bebas melalui berbagai kegiatan, seperti: menjelajah, mendaki, berkemah, dan lainnya.
Aspek Perseptual
  • Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan isyarat.
  • Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di depan, belakang, bawah, sebelah kanan, atau di sebelah kiri dari dirinya.
  • Mengembangkan koordinasi gerak visual, yaitu: kemampuan mengkoordinasikan pandangan dengan keterampilan gerak yang melibatkan tangan, tubuh, dan atau kaki.
  • Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis dan dinamis), yaitu: kemampuan mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis.
  • Mengembangkan dominasi (dominancy), yaitu: konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki kanan/kiri dalam melempar atau menendang.
  • Mengembangkan lateralitas (laterility), yaitu: kemampuan membedakan antara sisi kanan atau kiri tubuh dan diantara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.
Aspek Kognitif
  • Mengembangkan kemampuan menemukan sesuatu, memahami, memperoleh pengetahuan dan mengambil keputusan.
  • Meningkatkan pengetahuan tentang peraturan permainan, keselamatan, dan etika.
  • Mengembangkan kemampuan penggunaan taktik dan strategi dalam aktivitas yang terorganisasi.
  • Meningkatkan pemahaman bagaimana fungsi tubuh dan hubungannya dengan aktivitas jasmani.
  • Menghargai kinerja tubuh, penggunaan pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.
Aspek Sosial
  • Menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan dimana berada.
  • Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam kelompok.
  • Belajar berkomunikasi dengan orang lain.
  • Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan mengevaluasi ide dalam kelompok.
  • Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat.
  • Mengembangkan rasa memiliki dan tanggungjawab di masyarakat.
  • Menggunakan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat.
Aspek Emosional
  • Mengembangkan respon positif terhadap aktivitas jasmani.
  • Mengembangkan reaksi yang positif sebagai penonton.
  • Melepas ketegangan melalui aktivitas fisik yang tepat.
  • Memberikan saluran untuk mengekpresikan diri dan kreativitas.
Aspek Rehabilitasi
  • Terapi dan koreksi terhadap kelainan sikap tubuh.
  • Rehabilitasi terhadap cacat fisik dan penyakit fisik yang bersifat sementara.
  • Mengkoordinasikan berbagai hambatan melalui aktivitas jasmani.

Pengikut

 photo fiba_logo_quercopy_zps13231a28.png  photo PERBASI_Blog_zps95deb748.png
 photo HeadCoachBasketball_logoblog_zpsd965225e.png