Meskipun
rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam
pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar
sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat
persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah
bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandang
sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu keolahragaan.Di
berbagai negara di seluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi
olahraga terkait dengan sejarah, yang mencerminkan perbedaan perkembangan
secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan
paradigma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari
semua Subdisiplin ilmu ke‑olahraggaan (misalnya, sport medicine, sport
psychology), namun ada elemen sejarah yang amat khusus yang mengaitkan kedua
subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dari sejarah olahraga (sport
history).
Elemen‑elemen
sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi
olahraga, secara umum ditekankan pada:
- semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar sekolah;
- dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;
- kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;
- perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;
- perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan pendidikan jasmani dan olahraga;
- Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;
- sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;
- metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah terlupakan;
- bentuk‑bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain‑lain.
Seperti
dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam
Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam
struktur ilmu keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam
pengembangan pedagogi olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa
pedagogi olahraga dianggap sebagai “induk” yang berpotensi untuk memadukan
konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan
lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradigma
interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda
dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan
sentral dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang
dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan
sebagai “pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam
taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport, medicine
yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi
pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan hasil The Second Asia‑Pacific
Congress of Sport and Physical, Education University President).
Widmer
(1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari
fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi
Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan
pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan
teoretis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut; dan
(2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam
pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer dan drill di beberapa
negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis
pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan
gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.
Lingkup
kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di
luar sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak‑anak tetapi juga kepada
semua lapisan khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau
lainnya yang berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau
psikososial. Dalam konteks keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972)
menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga dan teori pelatihan yaitu pedagogi
olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan (training theory) untuk
menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada didaktik dan
metodik.
Pedagogi
olahraga di FPOK Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung misalnya,
memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport
history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan
pedagogi Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986;
1994) yang menyatakan bahwa “perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan
erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis.” Karena itu, perspektif
sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya
pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.
Memang
kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan
subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan
pedagogi olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke‑olahragaan,
yang sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis
(Andrieu, 1990; Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda
(Kramer & Lommen, 1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears &
Swanson, 1988), dijumpai keragaman aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul
dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di negara ini, seperti di negara
lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian akademik tidak
berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini karena di
Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara‑negara Eropa lainnya, konsep “physical
education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya,
ketimbang pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988;
dalam Naul, 1994).
Di
Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya maupun
substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah “embrio” dalam
taksonomi ilmu keolahragaan. Lebih dari dua dasawarsa, setelah mengenal
struktur dasar ilmu keolahragaan dalam International Workshop on Sport Science,
1975 di Bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari Sekolah Tinggi Olahraga se‑Indonesia
dengan nara sumber ahli‑ahli Jerman Barat (Prof. H. Haag, Prof. Nowacki, Dr.
Jansen, dan Bodo Schmidt), Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu
keolahragaan, asyik dengan tema‑tema diskusi olahraga kompetitif’. di sekitar
feri‑feri ilmu kepelatihan dari sport medicine.
Melalui
pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan
tentang sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses
percepatan konversi IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya
tentang konsep ilmu keolahragaan yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum
menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi
taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional itulah yang kemudian
melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi pada kesehatan
olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka pada tahun
1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan
diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat
keputusan Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.
Sejak
tahun 1980‑an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional,
terutama di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai
memperkenalkan “sport pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai
menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum
pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang
dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan
lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar kerja (sekolah)
sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan
jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.
Pedagogi
olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan
pedagogi olahraga dalam paradigma interdisiplin‑intergratif didorong oleh
kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan
hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak memadai untuk mampu
mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan internasional sepaham bahwa
istilah pedagogi olahraga berasal dari Jerman, tatkala latar belakang
filsafat/hermentik dari “teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada
akhir tahun 1960‑an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe,
1969; dalam Naul, 1994).
Namun
informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi
olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun
1960‑an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun
1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga
buah fikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de
Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth‑Jarkowsky
(Austria‑Hungaria), sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulisan
mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan
untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok fikiran itu sungguh
sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar
pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang
hakikat dan gerakan pengembangan “body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.
Sejarah
pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik
Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan
yang ‑ berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah
Perancis, Denmark, Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880‑an.
Seperti juga pernah kita kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya,
sistem pendidikan jasmaninya, dan metode pengajarannya memperoleh pengakuan
internasional di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 ialah:
- Guthsrnuths (I 7 93) dart Jerman yang berpengaruh di Denmark, Inggris, Swedia, Nederland, Belgia, Italia dan negara lainnya;
- Pestalozzi (1807) di Swedia, melalui Spies kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan jasmani di sekolah‑sekolah Jerman, dan Amoros dan Clias berpengaruh terhadap latihan fisik guru‑guru dan militer pria di Perancis dan Inggris;
- Per Henrik Ling dan puteranya Hjalmar, bersama dengan para penerusnya Royal Central Institute of Gymnastic di Stockholm, mempengaruhi semua sistem nasional pendidikan jasmani di seluruh Eropa dan Amerika Utara dalam periode yang berbeda‑beda, yang bermula pada abad ke‑19.
Di
berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900,
khususnya tahun 1920‑an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga
yang dikenal di tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat,
dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam
dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik.
Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh
Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka mendorong
terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara‑negara Eropa. Di Perancis,
metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan
Herbert, dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan
dalam senam, dan di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria
“Gaulhofer dan Streicher” (1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark
dan Swedia. Tulisan dan hasil kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu
pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di Jerman, Belanda, Inggris, dan
negara Eropa lainnya pada tahun 1920‑an dan 1930‑an (Grossing. 1991; Kramer
membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).
Pada
masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan
diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa.
Namun sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status
akademik pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.
Pada
tahun 1960‑an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap
sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di
Timur, semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran
jasmani sebagai tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar
berfungsi dengan baik, sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat,
Crum, 1994). Aspek performa menjadi bagian yang lebih penting karena berbagai
alasan. Pada tahun 1970‑an, kebijakan pendidikan jasmani banyak diperbaharui
oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara negara Eropa.
Tahun
1970‑an merupakan puncak perkembangan pendidikanl jasmani dengan peningkatan
yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan
kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di
samping pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi
diperkenalkan dari diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.
Namun
sejak tahun 1980‑an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat
global karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu
sendiri. Krisis pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres
dunia di Berlin tahun 1999 1 terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu
negara seperti di AS, Australia, Inggris dan Jerman, namun menjadi persoalan
akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam Naul, 1994). Bahkan
dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok diungkapkan
yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai implementasi
dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di
Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani,
seperti dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak
perubahan yang dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai
“gong” dari konferensi bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong
peningkatan mutu pendidikan jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan
mutu pendidikan.
Rangkaian pembahasan tentang pemberdayaan
pendidikan jasmani ini berlanjut dalam kongres internasional ke‑46 ICHPERSD
(International Council on Health, Physical Education, Recreation, Sport ‑.md
Dance) di Istambul (2006) yang menghasilkan pemikiran tentang visi dan misi
baru pendidikan iasmani, termasuk komponen‑komponen pendidikan jasmani yang
dipandang bermutu