Upaya
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terus menerus dilakukan. Upaya itu
mengejewantah dalam berbagai kegiatan dan program, dari mulai upaya
meningkatkan mutu guru yang menjadi ujung tombak di sekolah-sekolah dalam
proses pembelajaran, hingga perubahan kurikulum seperti yang saat ini sedang
dilakukan pemerintah melalui perubahan Kurikulum Nasional Tahun 2004 kepada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Perubahan
Kurikulum memang bukan satu-satunya solusi dalam menangani permasalahan mutu,
tetapi hanya salah satu faktor yang mendorong perubahan yang sifatnya mendasar,
termasuk mendorong perubahan paradigma yang membelenggu semua pihak yang
terlibat dalam proses pendidikan, termasuk guru. Bahkan, dalam kondisi saat
ini, perubahan kurikulum saja diasumsikan tidak akan membantu banyak dalam
upaya perubahan mutu tersebut, karena guru sendiri belum melihat kurikulum dari
perspektif yang benar. Mereka masih melihat kurikulum sebagai “buku resep
masakan” yang sudah jadi, tinggal mengumpulkan bahan yang disebutkan dalam
Silabus dan melakukannya persis seperti yang diminta, seperti sudah
dipraktekkan selama ini.
Ketika
kurikulum yang saat ini hendak diberlakukan (KTSP) bersifat berbeda dalam
kemudahannya untuk digunakan sebagai resep, karena mereka harus menentukan
resep masakannya sendiri dalam bentuk Silabus, maka kebingungan dan salah
kaprahpun merebak, di samping nama kurikulum berbasis kompetensi pun memang
masih sangat kurang familiar di telinga para guru. Bahkan para ahli pun hingga
sekarang belum secara kompak sepakat kata dalam menentukan “kompetensi” dari
setiap mata pelajaran.
Ambil
contoh dalam matapelajaran pendidikan jasmani, yang hingga saat ini
masing-masing penetapan butir kompetensinya masih simpang siur, sesuai selera
dan kepekaan masing-masing, terutama karena berangkat dari kaca mata
sendiri-sendiri. Pada tahap awal, perbedaan pandangan tersebut harus
diminimalisir dengan adanya sebuah pedoman dalam penyusunan silabus, bahkan
jika mungkin sampai pada petunjuk pelaksanaan pembelajaran dan sistem
evaluasinya.
Hal
ini dipandang penting agar guru mampu keluar dari belenggu pemikiran gaya lama,
dan pada saatnya mereka akan memiliki kemampuan untuk menyusun silabusnya
sendiri serta secara tepat merumuskan materi ajar dan pengalaman pembelajaran
bagi siswanya.
Istilah
“Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir setiap orang.
Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda dari masa ke
masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula. Seseorang mungkin menerjemahkan
pendidikan sebagai sebuah proses latihan. Orang lain mungkin menerjemahkannya
sebagai sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman
dan pengetahuan baru yang lebih baik. Atau mungkin pula diterjemahkan secara
sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
John
Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan,
mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa
yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi
lebih terarah dan bermakna. Definisi ini mengandung arti bahwa seseorang
berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang dilaluinya.
Lebih
jauh definisi tersebut mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari
segala sesuatu yang ia lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata kuncinya
adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara melakukan.
Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, lapangan
olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse
(1964) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan liberal (liberal
education) dan pendidikan umum (general education). Ia mengatakan
bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan menekankan
penguasaan materinya (subject centered). Tujuan utamanya adalah
penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan bahkan jika mungkin sampai
tuntas. Pemikiran pendidikan seperti ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam
konteks pendidikan jasmani sekarang ini, dan oleh karena itu, pengertian
pendidikan seperti ini dipandang bersifat tradisional.
Sementara
itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan pelakunya dari pada bidang
studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai perkembangan individu secara
menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan perilaku intelektual dan
sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered).
Pendidikan
pada jaman sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara
total. Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap
individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual
pada dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk
siswa yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan
emosional, dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi
kebebasan untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh
pelatihan dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dengan
kata lain pendidikan pada jaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan
individu secara utuh. Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya
akan tetapi juga kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya. Para
guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan masalah-masalah
baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.
Para
guru mungkin sering menemukan atau mendengar pengertian Pendidikan Jasmani dari
berbagai sumber. Beberapa
pengertian Pendidikan Jasmani yang diperoleh tersebut disusun dalam redaksi
yang beragam. Apabila kita cermati lebih jauh, maka keragaman tersebut pada
umumnya sama seperti pandangan terhadap pendidikan di atas.
1. Pandangan Tradisional
Pandangan
pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional, menganggap bahwa
manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat dipilah-pilah, yaitu
jasmani dan rohani (dikhotomi). Pandangan ini menganggap bahwa Pendidikan
Jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang,
atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain Pendidikan Jasmani
hanya sebagai pelengkap saja.
Di
Amerika Serikat, pandangan dikotomi ini muncul pada akhir abad 19 atau antara
tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, Pendidikan Jasmani di pengaruhi oleh system
Eropa, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih menekankan pada
perkembangan aspek fisik (fitnes), kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan
gimnastik sebagai medianya.
Pada
saat itu, Pendidikan Jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada
sebagai pendidikan. Oleh karena itu, para pengajar Pendidikan Jasmani lebih
banyak dibekali latar belakang akademis kedokteran dasar (medicine). Pandangan
Pendidikan Jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini secara empirik
menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program pelaksanaan, dan
penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan Pendidikan
Jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan, memperhebat
keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari itu, sering
juga pelaksanaan Pendidikan Jasmani ini justru mengabaikan kepentingan jasmani
itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan modern.
2. Pandangan Modern
Pandangan
modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap bahwa manusia
bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia
adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu Pendidikan
Jasmani tidak hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan
satu komponen saja.
Di
Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood dan
selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu Pendidikan Jasmani
dipengaruhi oleh “progressive education”. Doktrine utama dari
progressive education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi
kontribusiterhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani
mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada
periode ini Pendidikan Jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui aktivitas
jasmani (education through physical).
Pandangan
holistik ini, pada awalnya kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena
pengaruh pandangan sebelumnya, yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport
tidak sesuai di sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh
dan berkembang menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari
kehidupan manusia.
Sport
menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan untuk
berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah ditekan
untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolah-sekolah karena mengandung
nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya Pendidikan Jasmani juga berubah, yang
tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada
seluruh aktivitas fisik termasuk olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas
lain dalam lingkup aktivitas fisik.
3. Pandangan Indonesia
Di
Indonesia, salah satu contoh definisi Pendidikan Jasmani yang didasarkan pada
pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Jasmani (sekarang
sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai berikut, Pendidikan
Jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas
manusia berupa sikap, tindak , dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah
menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan.
Definisi
yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1992) sebagai
berikut, Pendidikan Jasmani merupakan bagian dari program pendidikan umum
yang memberi kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Pendidikan Jasmani
didefinisikan sebagai pendidikan gerak dan pendidikan melalui gerak, dan harus
dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut.
Definisi
Pendidikan Jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak mendapat dukungan
dari para ahli Pendidikan Jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop (1990),
mengemukakan, Pendidikan Jasmani modern yang lebih menekankan pada
pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan bahwa jiwa
dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan
ini memandang kehidupan sebagai totalitas.
Wall
dan Murray (1994), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang yang lebih
spesifik, masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana pikiran,
perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang
selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka perubahan satu
element sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena
itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus kita didik, tidak hanya
mendidik jasmani atau tubuhnya saja.
Oleh
karena itu dapatlah dikatakan bahwa Pendidikan Jasmani pada dasarnya merupakan
pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan individu
secara menyeluruh. Namun demikian, perolehan keterampilan dan perkembangan lain
yang bersifat jasmaniah itu juga sekaligus sebagai tujuan.
Melalui
Pendidikan Jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk
keterampilan berolahraga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila banyak
yang meyakini dan mengatakan bahwa Pendidikan Jasmani merupakan bagian dari
pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk
mendidik.